Drug Free Community

Memanusiakan Manusia Indonesia


11 Komentar

Gerakan Legalisasi Narkotika Atas Nama Advokasi Korban Napza dan Harm Reduction…

Peredaran narkotika diatur dalam UU No. 35/2009, narkotika legal untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan terapi pengobatan. Negara mengatur peredaran narkotika dalam rangka melindungi warganya dari dampak penyalahgunaan narkotika. Narkotika adalah obat, secara prinsip disatu sisi obat memberi manfaat positif meringankan, mengurangi, dan atau menyembuhkan rasa sakit. Disisi lain tidak ada satupun zat dalam obat yang tidak memberi dampak pada organ tubuh yang lain terutama susunan saraf pusat, disatu sisi menyembuhkan disisi lain memberi dampak merusak pada organ tubuh yang lain. Obat atau narkotika harus dikonsumsi sesuai terapi medis untuk kepentingan penyembuhan karena obat atau narkotika juga memiliki efek mempengaruhi susunan saraf pusat yang menyebabkan ketergantungan.

Mengkonsumsi obat atau narkotika secara berlebihan tidak sesuai dosis dan mengkonsumsi obat atau narkotika bukan untuk kepentingan penyembuhan disebut dengan penyalahgunaan. Penyalahgunaan obat secara berlebihan memberi dampak ketergantungan dan jangka panjang adalah kerusakan yang serius pada organ-organ tubuh seperti ginjal, hepatitis, jantung, dan kerusakan otak permanen. Lebih lanjut dampak ketergantungan obat atau narkotika juga meluas ke berbagai aspek, psikis, sosial, budaya, ekonomi, dan keamanan.

Sebagai bentuk tanggungjawab negara terhadap rakyatnya maka peredaran narkotika di luar kebutuhan pengembangan ilmu pengetahuan dan terapi medis adalah dilarang alias ilegal. Bila faktanya banyak beredar narkotika secara bebas yang disalahgunakan dikonsumsi bukan untuk kebutuhan terapi medis maka disebut dengan peredaran gelap, yang berlaku ketentuan pidana. Saat ini marak bermunculan gerakan-gerakan legalisasi narkotika yang justru bukan untuk kepentingan medis. Gerakan-gerakan ini secara sistematis berargumentasi atas nama Advokasi Korban Napza dan program penanggulangan AIDS Harm Reduction.

Harm Reduction merupakan program universal penanggulangan HIV dan AIDS dengan tujuan mengurangi resiko penularan HIV dari penggunaan narkotika dengan jarum suntik (IDU) bergantian dan atau tidak steril. DFC tidak mendukug program ini dikarenakan program ini tidak memberikan solusi dari masalah ketergantungannya. Advokasi Korban Napza sendiri tidak lain merupakan program pemerintah untuk memfasilitasi pecandu sebagai korban narkotika (napza) untuk memperoleh hak dan atau vonis rehabilitasi, sesuai UU Narkotika No. 35/2009 dan SEMA No. 4/2010.

Banyak LSM-LSM dan atau gerakan-gerakan yang menggusung program tersebut di atas, tetapi bila ditelisik lebih jauh tidak semua LSM-LSM dan atau gerakan-gerakan tersebut memiliki misi yang terbatas pada dua hal tersebut, yaitu penanggulangan penularan HIV dan rehabilitasi pecandu sebagai korban narkotika (napza). Ada misi lain yang digusung atas nama dua program tersebut, yaitu legalisasi narkotika. Gerakan-gerakan yang mengarah ke legalisasi narkotika mulai bermunculan di tahun 2005-2006, dengan dukungan donor dari lembaga-lembaga donor dari Negara Australia. Apakah ada kaitannya dengan kasus Corby dan Bali Nine?????

Kasus Corby…

Schapelle Leigh Corby adalah gadis warga negara Australia yang ditangkap di Bandara Ngurah Rai Bali pada 8 Oktober 2004 karena di dalam tasnya terdapat 4,2 kg mariyuana. Corby dinyatakan melanggar pasal 82 ayat (1) huruf (a) UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Jaksa menuntutnya hukuman seumur hidup dan denda 100 juta atau subsider enam bulan kurungan.

Pengadilan Negeri Denpasar tidak menjatuhkan hukuman mati ataupun seumur hidup kepada Corby, dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Di tingkat Pengadilan Tinggi hukumannya dikurangi menjadi 15 tahun penjara. Di tingkat kasasi MA hukumannya kembali bertambah menjadi 20 tahun penjara.

Kasus Bali Nine…

Sembilan orang penyelundup Narkoba (heroin) seberat 8.3. kg seharga Empat Juta Dollar Australia ditangkap di Denpasar, Bali pada 17 April 2005. Mereka menjadikan Bali sebagai tempat transit sebelum bertolak ke Australia. Empat orang ditangkap di bandara, satu di dalam pesawat, empat lagi di dalam sebuah bungalow di Bali. Mereka berusia amat muda, 18 hingga 28 tahun, masing-masing adalah Andrew Chan, Myuran Sukumaran, Scott Rush, Marthin Stephens, Matthew Norman, Michael Czugaj, Si Ye Chen, Tach Duc Thanh Nguyen, dan Renae Lawrence.

Pengadilan Negeri Denpasar, Pengadilan Tinggi Bali, dan Mahkamah Agung mengganjar hukuman sembilan orang ini secara bervariasi. Semula di tingkat pengadilan negeri dua orang (Andrew Chan dan Myuran Sukumaran) dijatuhi hukuman mati dan tujuh lainnya dijatuhi hukuman seumur hidup. Belakangan di tingkat banding dan kasasi hukuman berubah menjadi satu orang lagi dijatuhi hukuman mati (Scott Rush), dua tetap dihukum seumur hidup, dan empat lagi dikurangi hukumannya menjadi dua puluh tahun penjara.

Pemerintah Australia sangat berkepentingan untuk melindungi warga negaranya yang berurusan hukum di negara lain (dalam hal ini Indonesia) dan terancam hukuman mati. Mereka akan melakukan berbagai cara untuk membebaskan warga negaranya dari ancaman hukuman mati dan atau hukuman seumur hidup. Sah-sah saja sebagai negara yang bertanggungjawab melindungi warga negaranya melakukan upaya pembebasan tersebut. Mulai dari membangun opini publik tentang pelanggaran HAM atas diberlakukannya hukuman mati, Australia sendiri memang sudah menghapus hukuman mati sejak tahun 1973, dukungan advokasi hukum pada tersangka dua kasus tersebut, hingga loby-loby antar pimpinan pemerintah/negara.

Apakah ada hubungannya dengan gencarnya lembaga-lembaga donor dari Australia membiayai berbagai LSM dan atau gerakan-gerakan di Indonesia atas nama Advokasi Korban Napza dan Harm Reduction, yang secara kebetulan marak muncul tahun 2005-2006. Satu sisi mengatakan diri Korban Napza yang harus direhabilitasi/diobati dari ketergantungan, di sisi lain menuntut legalisasi narkotika yang terbukti secara medis menyebabkan ketergantungan. Legalisasi narkotika di Indonesia secara signifikan akan menguntungkan nasib Corby dan 9 orang kasus Bali Nine, tetapi apakah signifikan dengan harga yang ditebus Bangsa ini???

Kami peduli 3,5 juta pecandu narkotika, mereka berhak direhabilitasi dan tanggungjawab negara memfasilitasi. Kami juga peduli 50 juta generasi muda yang terancam dampak dari penyalahgunaan dari peredaran gelap narkotika, mereka berhak memperoleh lingkungan yang sehat dan kondusif untuk beraktifitas secara positif.

Slank, mereka kaya dan populer nyatanya mereka katakan bahwa narkotika tidak memberikan kebaikan pada mereka, sang ibunda begitu keras mencari pemulihan bagi mereka. Henry Yosodiningrat, pengacara kaya raya ternyata cukup terganggu dengan putranya yang kecanduan narkotika. Ronny Patinasarani, atlit sekaligus pelatih sepak bola yang terbiasa berpacu dalam pertandingan menyerah dan menangis karena putranya kesakitan menahan kecanduan. Iwan Fals, sosok idola jutaan manusia di Indonesia jatuh menangis saat putra pertama meninggal karena narkotika, dan menyatakan penyesalan tidak mampu melindungi putranya dari penyalahgunaan narkotika.

Bila mengkonsumsi narkotika tidak menyebabkan ketergantungan dan sakit maka tidak ada alasan dilarang beredar bebas…

Narkotika LEGAL untuk PENGOBATAN bukan untuk GAYA HIDUP…

Rehabilitasi pecandu korban penyalahgunaan narkotika… DUKUNG!!!

Legalisasi narkotika untuk gaya hidup…. TOLAK!!!

Penulis Mila Machmudah Djamhari, S.Sos.

Baca lebih lanjut